Selasa, 09 Maret 2010

SEJARAH OLAHRAGA


Kerangka ilmu keolahragaan itu sendiri di Indonesia, secara gamlang, mulai dikenal melalui kontak dengan para ahli dari Jerman Barat pada tahun 1975, tatkala diselenggarakan lokakarya internasional tentang Sport Science. Hasil lokakarya berdampak kuat pada pengembangan kurikulum Sekolah Tinggi Olahraga meskipun masih amat sesak muatannya dengan pengetahuan tentang isi (content knowledge). Beberapa sub‑disiplin ilmu keolahragaan (misalnya, biomekanika olahraga, filsafat olahraga, fisiologi olahraga) dalam nuansa sendiri‑sendiri (multidiscipline) mulai dikembangkan yang di dukung oleh ilmu‑ilmu pengantar lainnya dalam pendidikan (misalnya, psikologi pertumbuhan dan perkembangan) dan ilmu sosial lainnya (misalnya, sosiologi dan anthroplogi) yang dip perlu dikuasai oleh para calon guru, pelatih, dan pembina olahraga di bidang rekreasi.

Medan layanan jasa mulai diidentifikasi meskipun masih amat bersifat umum, belum terinci, yang berlaku sampai sekarang, seperti tercantum dalam Undang‑Undang Sistem Keolahragaan Nasional, meliputi olahraga pendidikan (pendidikan jasmani), olahraga rekreasi, dan olahraga kompetitif, sehingga penyiapan ketenagaan ditampung pada tip jurusan yang sampai sekarang masih berlaku di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yakni Jurusan Pendidikan Olahraga, Jurusan Kepelatihan Olahraga, dan Jurusan Pendidikan Rekreasi dan Kesehatan.

Setelah terjadi perluasan mandat yang disusul dengan konversi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi universitas, FPOK di IKIP lainnya di beberapa kota di Indonesia berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Keolahragaan, sementara, FPOK di Bandung tetap tidak berubah nama, yang didorong oleh motif untuk mempertahankan misi kependidikan melalui olahraga di Indonesia yang dirasakan sangat penting untuk dikembangkan. Hanya sedikit perubahan di FPOK UPI Bandung, yaitu dibukanya pro­gram Ilmu Keolahragaan (IKOR) dengan isi kurikulum yang sarat dengan subdisiplin ilmu keolahragaan. Beberapa tahun sebelumnya, terutama setelah saya pulang dari State University of New York di Albany (SUNY), AS, mata kuliah pedagogi olahraga (sport pedagogy) mulai dikembangkan, termasuk pula mata kuliah teori belajar motorik dengan pendekatan motor control yang sebelumnya lebih menekankan pendekatan psikologi, terutama teori‑teori belajar umum yang dikenal dalam bidang pendidikan.

Sejak terjadi konversi IKIP menjadi universitas pada tahun 1999 hingga sekarang, hanya sedikit kemajuan yang dicapai, jika tidak disebut mengalami kemandegan dari sisi pengembangan substansi keilmuannya sebagai akibat rendahnya kegiatan penelitian yang terkait dengan kelangkaan infrastruktur dan biaya pengembangan, di samping kurangnya tenaga dosen penekun sub‑sub disiplin ilmu keolahragaan. Filsafat olahraga (sport philosophy)dan sejarah olahraga (sport history) misalnya, yang dianggap penting sebagai landasan pemahaman tentang olahraga dan pengembangan kebijakan pembangunan olahraga, justru paling terlalaikan. Keadaan ini boleh jadi sebagai akibat khalayak masyarakat akademis di bidang keolahragaan larut dalam kegiatan pragmatis, meskipun tidak banyak tindakan yang dianggap cepat tanggap untuk menjawab tantangan berskala nasional di bidang keolahragaan.

Kondisi tersebut di atas menempatkan ilmu keolahragaan di Indonesia masih pada posisi “feri‑feri”, sebagai “pengikut”, sementara pusat‑pusat pengembangan ilmu keolahragaan di Eropa, terutama Pula di Amerika Utara tetap memainkan peranan sebagai “pusat”, yang pada gilirannya sungguh jelas memapankan teori ketergantungan dalam bidang olahraga. Publikasi para pakar olahraga Indonesia’ di tingkat internasional masih amat jarang muncul, seperti juga halnya pada tingkat nasional sekalipun, yang menyebabkan kita masih sebagai konsumen, bukan penghasil ilmu yang tekun. Keadaan ini berdampak pada pemanfaatan buku‑buku rujukan yang hampir sepenuhnya bergantung pada terbitan luar negeri, terutama yang berbahasa Inggris dari Amerika Utara, melalui penerbit‑penerbit kelas dunia (misalnya, penerbit Human Kinetics), sementara sumbersumber bacaan yang berbahasa lainnya, seperti yang berbahasa Jerman dan Rusia, yang umumnya juga tinggi mutunya, sangat jarang dijumpai atau dipakai dalam perkuliahan, yang disebabkan karena langka dalam hall kepemilikan termasuk penguasaan bahasanya. Persoalan hambatan ekses informasi dalam ilmu keolahragaan, sebenarnya sudah dapat diatasi melalui begitu banyak portal‑portal dalam internet yang memuat banyak tulisan lepas, dan bahkan jurnal‑jurnal dengan berlangganan.

Bagaimana membangun kemandirian dalam pengembangan olahraga sebenarnya telah dirintis selama era “revolusi olahraga” dalam rangka membangun “Indonesia Baru” yang pada dasarnya bertujuan untuk mematahkan hegemoni Barat, yang digelar dalam platform politik Bung Karno pada awal tahun 1960‑an yang terarah pada pembangunan watak dan bangsa (character and nation building). Namun, konsep, dasar dari sisi filsafat tak banyak pengembangannya, dan penjabarannya pun tak sempat banyak dikerjakan, apalagi setelah kejatuhan Bung Karno pada tahun 1965‑1966 karena seolah‑otah konsep itu tabu untuk dibicarakan. Perubahan yang masih melekat hingga sekarang ialah istilah pendidikan jasmani pada tahun 1950‑an berubah menjadi pendidikan olahraga, meskipun perubahan kembali ke asal telah berlangsung dalam wacana nasional dan kurikulum untuk mengikuti trend internasional yang lebih biasa berkomunikasi dalam istilah pendidikan jasmani (physical education).

Bung Karno, pada waktu itu, memahami tujuan berolahraga di Indonesia sedemikian khas, berbeda dengan paham Barat, karena sedemikian tajam penekanannya pada pencapaian tujuan nasional, tujuan revolusi, bukan untuk kepentingan pribadi olahragawan, sehingga generasi tahun 1960‑an tetap ingat hingga sekarang tentang pentingnya pengabdian hidup bagi: negara dedication of life melalui olahraga.

Istilah olahraga, sebuah istilah yang bersifat generik, dipandang sangat mengena dalam pengertian, karena kata “olah”, selain sudah sangat biasa digunakan dalam kehidupan sehari‑hari, seperti “mengolah lahan,” atau “mengolah makanan,” dalam konteks “raga” sebagai subyek, maka dipahami istilah olahraga itu tidak bermakna semata “mengolah” fisik, tetapi “man as whole”, atau manusia seutuhnya, sehingga dalam konteks ini istilah olahraga mengandung makna membina potensi, sekaligus pembentukan (forming). Prof. Riysdorp, selaku ketua ICHPER‑SD, dalam sambutannya ketika membuka konferensi internasional International Council on Health, Physical Education and Recreation Sport and Dance (ICHPER‑SD) tahun 1973 di Denpasar, Indonesia, secara ringkas memaknai istilah olahraga itu sangat mengena, dan beliau menegaskan, hal itu menunjukkan kepedulian bangsa Indonesia yang begitu mendalam terhadap olahraga dalam kontesks pendidikan.

Cukup banyak konvensi atau konferensi internasional yang berbobot yang menghasilkan deklarasi tentang pendidikan jasmani dan olahraga, misalnya, deklarasi UNESCO di Paris tahun 1978, tentang “Piagam Internasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga” yang dalam salah satu pasal menegaskan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan hak asasi. Kongres dunia tentang pendidikan jasmani di Berlin, Jerman tahun 1999, bertema “krisis global pendidikan jasmani” sesungguhnya menyuarakan keprihatinan dunia akan status dan keterlaksanaan program pendidikan jasmani di sekolah‑sekolah yang kian mengalami kemunduran berdasarkan beberapa indikator seperti dana yang sangat terbatas, status profesi dan keilmuan yang rendah, selain alokasi waktu untuk pendidikan jasmani dalam kurikulum kian berkurang jumlahnya. Kelangkaan infrastruktur untuk memberikan kesempatan berolahraga secara nyaman dan aman, terutama di negara berkembang merupakan sebuah krisis yang amat mendalam.

Keseluruhan upaya untuk membangun kesepakatan internasional itu didorong oleh kepentingan bersama bahwa pendidikan jasmani dan olahraga, jikalau dibina dengan baik, akan menghasilkan perubahan yang sangat berharga, dimulai dari perubahan tingkat mikro individual hingga kelompok masyarakat, dan bahkan nasional, yang tertuju pada peningkatan kualitas hidup yang baik.

Karena itu peningkatan pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah atau di lembaga‑lembaga pendidikan, tujuannya begitu erat guna meningkatkan kualitas pendidikan. Bahkan dalam konteks kepentingan dunia yang bersifat global misainya, pihak PBB sendiri memahami keselarasan tujuan yang dicapai melalui gerakan olimpiade untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan damai. Penekanan program yang bersifat inkfusif, yang tertuju pada setiap orang, golongan, dan wilayah, terutama anak‑anak di daerah kantong‑kantong kemiskinan, masuk ke dalam prioritas. Untuk ikut serta menjawab tantangan pencapaian tujuan pembangunan millennium (Millenium Development Goal, 2015), program pendidikan jasmani dan olahraga, melalui kampanye tingkat nasional dan internasional, juga diarahkan untuk memberikan andil.

Kesemua upaya itu memerlukan landasan ilmiah. Dalam kaitan ini, pada tahun 1983, International Council of Sport Science and Physical Education (ICSSPE) mengadopsi statuta yang berisi pernyataan tentang kepedulian terhadap ilmu keolahragaan. Di antaranya, dalam ayat I disebutkan peranan ICSSPE sebagai organisasi untuk mempromosi dan menyebarluaskan hasil dan temuan dalam ilmu keolaragaan dan penerapannya dalam konteks budaya dan pendidikan. Analisis yang dilakukan oleh Kirsch (1990) tentang pelaksanaan dan substansi kongres ilmiah di Olimpiade sejak 1909 di Paris hingga 1992 di Malaga (Spanyol) dapat dipakai sebagai parameter dari dimensi sejarah tentang perkembangan tema‑tema ilmu keolahragaan.

Seperti pertanyaan yang juga sering muncul di Indonesia, di Amerika Serikat, Henry (1970, 1980) pernah menulis: manakala disiplin akademik pendidikan jasmani belum eksis, disiplin akademik tersebut perlu ditemukan. Namun pertanyaan yang berkepanjangan, apakah pendidikan jasmani atau olahraga dapat. dikembangkan sebagai sebuah disiplin ilmu? Apa objek formal penelitiannya, dan apa metode yang tepat untuk digunakan. Abernathy dari Waltz (1964) melihat fungsi sentral pendidikan jasmani sebagai sebuah disiplin akademik dalarn mengkaji gerak insani di bawah kategori keterbatasan gerak, pengalaman gerak, struktur kepribadian, persepsi, dan lingkungan sosio‑kultural.

Karena objek kajiannya yang unik yang melibatkan fenomena sosio‑psiko‑bio-kultural, maka pembangunan teori di bidang keolahragaan menjadi amat luas dan menggiring upaya ke arah pendekatan lintas disiplin. Fenomena belajar keterampilan olahraga misalnya sungguh melibatkan aspek nouro‑fisiologis dan psikologis secara simultan yang tidak terlepas dari konteks sosial budaya walaupun tetap mungkin dianalisis secara sendiri-sendiri sesuai dengan tema‑tema pokok yang, membangun kerangka teoritis yang mencakup substansi pengetahuan yang disampaikan. karakteristik peserta didik, konteks, dan assessmen.

Medan Penelitian

Dari perspektif sosiologis, olahraga dipandang sebagai bagian dari budaya, dan karena itu masyarakatlah yang membentuknya sebagai bagian dari hidupnya. Itulah sebabnya. dari waktu ke waktu definisi olahraga berubah sesuai dengan persepsi kelompok masyarakat. Misalnya, definisi olahraga yang disepakati pada era tahun 1960‑an lebih diwarnai oleh nuansa ‑upaya perjuangan melawan unsur alam atau diri sendiri”. Seiring dengan gerakan olahraga yang bersifat inklusif, “Sport for All” sejak tahun 1972 di Eropa, Europe Council sepakat untuk mengartikan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan pada waktu luang.”

Dengan kata lain, olahraga mencakup pengertian yang luas bukan hanya olahraga kompetitif yang berisi kegiatan perlombaan atau pertandingan untuk memperagakan prestasi yang optimal, tetapi juga kegiatan jasmani pada waktu senggang sebagai pelepas telah, misalnya untuk tujuan pembinaan kebugaran jasmani. Definisi semacam ini terangkum dalam paparan Herbert Haag (1986) yang menyatakan bahwa olahraga tidak diartikan dalam lingkup sempit, olahraga kompetifif, tetapi maknanya adalah mencakup kegiatan jasmani, baik formal maupun informal sifatnya, dari bahkan juga dalam bentuk kegiatan ‑fundamental seperti pembinaan kebugaran jasmani.

Menghadapi kenyataan bahwa olahraga itu sangat kompleks, pakar Olahraga di Indonesia telah mencoba untuk menggolongkannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai ’sehingga dikenal olahraga pendidikan (pendidikan jasmani) yang menekankan aspek kependidikan, olahraga rekreasi untuk tujuan yang bersifat rekreatif, olahraga kompetitif untuk tujuan mencapai prestasi. Jenis dan bentuk olahraga berkembang sesuai dengan motif kelompok masyarakat pelakunya.

Meskipun amat beragam bentuk dan jenisnya, tetapi masih dapat diidentifikasi persamaan umum yang menunjukkan ciri khas, atau “inner horizon” olahraga. Sisi bagian dalam olahraga, memimjam istilah Husserl (1972), merupakan medan penelaahan dari objek formal pengembangan ilmu keolahragaan. Namun kemudian, intinya yang paling hakiki ialah fenomena gerak yang ditampilkan dalam suasana bermain (play), sehingga kriteria penilaian tertuju pada adanya faktor kebebasan dan kesengajaan secara sadar untuk melaksanakannya. Dengan kata lain fenomena gerak itu didasarkan pada kesadaran manusia untuk menggerakkan dirinya. Dalam kaitan itu maka esensi lainnya dari olahraga ialah tindakan yang mengandung unsur kesukariaan (joy) dan kebabagiaan. Keseluruhan ciri yang disebutkan tadi menempatkan hakikat olahraga sebagai subsistem bermain.

Persoalannya tidak berbenti sampai di situ. Dunia olahraga tentu berbeda banyak dengan dunia bermain atau berbeda pula dengan kegiatan permainan yang mengandung unsur kebetulan (misalnya, permainan domino) atau permainan yang lebih banyak mengandalkan kemampuan intelektual (misalnya, catur). Gambaran yang lebih spesifik pada olahraga menekankan aspek gerak insani (human movement) sebagai unsur utama sebagai kegiatan yang nyata dan berkecenderungan untuk menampilkan performa.

Orientasi fisikal, seperti yang tampak pada kegiatan olahraga merupakkan ciri yang utama, sehingga di dalamnya terlibat unsur gerak yang melibatkan daya tahan, kecepatan, kekuatan, power, dan keterampilan (skill) itu sendiri. Kegiatan olahraga. selalu menampakkan diri dalam ujud nyata kehadiran fisik, peragaan diri secara sadar bertujuan disertai dengan penggunaan alat‑alat konkret seperti bola, raket dan bentuk lainnya.

Perwujudan gerak itu terkait dengan aspek dorongan pada manusia yang terkait dengan faktor sosial dan budaya, pengaruh suasana kejiwaan, emosi dan motif. Pelaksanaan olahraga selalu melibatkan keterampilan yang dipelajari yang dapat dilakukan hanya melalui proses ajar, yang dalam pelaksanaannya melibatkan suasana van yang menjalin hubungan sosial. Karena itu di dalam proses itu ada unsur pendidik dan peserta didik bahkan juga ada unsur persaingan untuk menunjukkan ketangkasan atau kelebihan pribadi.

Perilaku olahraga itu juga sering digambarkan sebagai sesuatu yang riil, bukan bersifat artifisial yang dirancang dalam lakon‑lakon bertema (misalnya, dalam gulat professional “Smackdown” yang sering disebut olahraga sirkus), Kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang olahragawan atau atlet tidak samata‑mata terpaku pada pokok peranan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan tugas gerak berupa teknik‑teknik dasar. Yang terjadi ialah seseorang, bersama yang lain, memainkan sebuah permainan yang benar‑benar nyata, tidak berpura‑pura dalam semangat kesungguhan yang menyerap seluruh perhatian. Karena itu di dalamnya ada kesungguhan, bukan kepura‑puraan, dan bahkan ada unsur kejutan, sehingga praktik “main sabun” dalam sepakbola misalnya, yang skornya sudah ditentukan sungguh dianggap sebagai tindakan sadar menghancurkan ciri permainan yang amat bertentangan dengan ciri olahraga.

Pada kebanyakan kegiatan olahraga maka prinsip performa dan prestasi begitu menonjol. Di dalamnya ada ketegangan karena melibatkan pengerahan tenaga yang melibatkan nuansa kejutan dan bahkan keberuntungan, sehingga hasil yang dicapai sukar diprediksi. Dalam kaitan ini maka prestasi yang meskipun diperagakan melalui faktor jasmaniah, tetapi pada dasarnya melibatkan diri manusia secara utuh. Kegiatan olahraga dilaksanakan secara suka rela, dan tertuju pada pengembangan diri.

Struktur Ilmu Keolahragaan

Kerangka dasar ilmu keolahragaan yang disusun berdasarkan kemajuan yang dianggap cukup mapan, seperti yang dipaparkan Prof. Haag di Jerman sejak tahun 1979, sangat membantu kita untuk menelaah kedudukan sport pedagogy. sebagai Salah Satu di antaranya, sebagai isi dari ilmu keolahragaan.

Ketujuh bidang teori yang dimaksud meliputi sport medicine, sport biomechanic, sport psychology, sport sociology, sport pedagogy, sport history dan sport philosophy. Masing‑masing bidang memiliki medan penelitian yang spesifik pula. Urutan ketujuh bidang teori tersebut dipaparkan dalam pengelompokkan yang dianggap logis. Sport medicine dan sport biomechanic olahraga masuk ke dalam kelompok ilmu pengetahuan alam, sementara spot‑[ psychology, sport sociology dari sport pedagogy tergolong ke dalam rumpun ilmu pengetahuan sosial dari behavioral. Sport history dan Sport philosophy termasuk ke dalam kelompok hermeneutical‑normative science. Paparan tersebut juga Menunjukkan bahwa “ibu” ilmu pengetahuan yang menjadi landasan pengembangan ilmu keolahragaan ialah medicine, biologi/fisika, psikologi, sosiologi, pedagogi, sejarah dari filsafat.

Model pengelompokkannya tergambar dalam sebuah kontinuum, dari IPA ke humaniora, atau secara metodologis, dari analitis‑empiris ke hermenetik‑teoretis, atau dari yang konkret ke abstrak.

Sejak tahun 1980, sesuai dengan tuntutan yang relevan di masyarakat, berkembang lima bidang teori baru dalam ilmu keolahragaan. Kelima bidang teori yang menunjukkan kemajuan pesat itu meliputi sport information, sport politics, sport law, sport engineering, dan sport economy. Masing‑masing terkait dan bahkan meminjam konsep, ilmu yang sudah mapan yakni information science, political science, law, engineering dan economic.

Sementara itu juga telah dikelompokkan bidang teori yang lebih spesifik yang menjadi jati diri ilmu keolahragaan, bertitik tolak dari wilayah spesifik yang meliputi faktor gerak (movement), bermain (play), pelatihan (training), dan pengajaran dalam olahraga (sport instruction). Dari ke lima wilayah spesifik ini lahirlah lima dimensi dari perspektif ilmu dan teori yakni movement science dan movement theory; play science dan play theory; training science dan training theory; dan instruction science of sport dan instruction theory of sport.

Dengan demikian semakin jelas gambaran tentang taksonomi ilmu keolahragaan yang dibangun berdasarkan sejumlah bidang teori. kecenderungan ini menunjukkan perkembangan ilmu keolahragaan ke arah spesialisasi dan fragmentasi.

Landasan Filosofis Pedagogi Olahraga

Pandangan dualisme Descartes yang memahami dikhotomi jiwa dari badan berpengaruh terhadap profesi di bidang keolahragaan, yakni raga dipandang samata‑mata sebagai sebuah objek, yang diungkap dalam perumpamaan yang lazim dikenal yakni “the body instrument”, “the body‑machine”, atau sekarang “the body‑computer”. Sebagai akibatnya maka sedemikian, menonjol pandangan yang mengutamakan aspek raga sehingga fisiologi dan anatomi menduduki posisi yang amat kuat dalam penyiapan tenaga guru pendidikan jasmani, dan pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah subjek yang penting bagi pembinaan fisik yang dipandang sebagai mesin.

Selanjutnya, konsep yang dikembangkan Maurice Merleau‑Ponty tentang “the body subject” dapat dipandang sebagai sebuah perubahan radikal pemikiran dualisme Cartesian. Inti dari pemikiran Ponty ialah bahwa manusia itu sendirilah yang secara sadar menggerakkan dirinya sehingga tubuh atau raga aktif sedemikian rupa untuk kontak dengan dunia sekitarnya. Ide tentang the body subject mengaskan kesatuan antara jiwa dan badan.

Berangkat dari konsep Ponty, Gordijn (Belanda) mengembangkan pandangan tentang gerak insani yakni gerak itu dipandang sebagai sebuah “dialog” antara seseorang yang bergerak dan lingkungan sekitar yang “mengundangnya” untuk bergerak. Pandangan ini menegaskan bahwa hubungan yang erat antara seseorang dan dunia sekitarnya merupakan sebuah persoalan yang mendasar Karena itu gerak manusia itu merupakan sebuah cara yang bermakna untuk berkiprah di lingkungan sekitar. Gerak manusia adalah perilaku
bermakna dalam penciptaan relasi dengan sekitar sehingga kesemua perilaku itu bukanlah produk dari reaksi mekanis terhadap stimulus, tetapi karena didorong maksud yang jelas, sesuai dengan “undangan” lingkungan sekitar. Secara sadar orang bermaksud untuk melempar, melompat, berenang atau tujuan lain, yang kemudian diwujudkan dalam perilaku gerak. Karena ada rintangan yang menghalangi perjalanan seseorang, maka ia dapat mengambil keputusan seperti melompati rintangan tersebut atau rintangan itu cukup dilangkahi, sesuai dengan bentuk rintangan atau ketinggiannya.

Konsep dasar itulah yang melandasi pemahaman para pemangku profesi pendidikan jasmani dan olahraga bahwa pengalaman yang disediakan melalui kedua kegiatan yang tak terpisahkan itu sangat potensial untuk mendidik seseorang. Bahkan akhir‑akhir ini, pihak PBB memposisi olahraga sebagai alat bagi pembangunan dan perdamaian; pendidikan jasmani dan olahraga merupakan “school of life” yang efektif.

Pandangan Gordijn tentang hakikat gerak manusia yang dikembangkan sekitar lebih dari 40 tahun yang lalu itu bersumber dari observasi dan interpretasi fenomenologis. Namun kemudian, konsep “ecological psychology” yang dikembangkan oleh J.J Gibson (pendiri psikologi ekologis) memperkuat pandangan Gordijn. Menurut teori yang dikembangkan Gibson, gerak manusia dijelaskan sebagai perubahan bermakna dalam relasi antara seseorang dan lingkungan sekitarnya.

Pendidikan Jasmani dan Pedagogi Olahraga

Meskipun rumusan lingkup unsur pedagogi olahraga (sport pedagogy) beragam pada berbagai negara, karena terkait dengan perbedaan budaya, akar sejarah, dan standar metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat persamaan pemahaman yaitu pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah bidang studi (mata pelajaran) di sekolah, dan pedagogi olahraga dipandang sebagai sebuah subdisipIin iImu dalam kerangka iImu keolahragaan.

Di berbagai negara di seluruh dunia, perkembangan pendidikan jasmani dan pedagogi olahraga terkait dengan sejarah, yang mencerminkan perbedaan perkembangan secara nasional dan perbedaan konsep, seperti juga perbedaan teori dan paradigma. Meskipun perspektif sejarah tampak merupakan bagian terpadu dari semua Subdisiplin ilmu ke‑olahraggaan (misalnya, sport medicine, sport psychology), namun ada elemen sejarah yang amat khusus yang mengaitkan kedua subdisiplin ilmu keolahragaan, pedagogi olahraga, dari sejarah olahraga (sport history).

Elemen‑elemen sejarah yang menjadi cakupan kajian sejarawan olahraga dan ahli pedagogi olahraga, secara umum ditekankan pada:

  • semua aktivitas jasmani dan olahraga yang dilakukan siswa di dalam dari di luar sekolah;

  • dampak gerakan olimpiade modern terhadap pendidikan jasmani;

  • kebijakan pendidikan suatu negara tentang penyelenggaraan pendidikan jasmani;

  • perbedaan tipe program intra dan ekstrakurikuler;

  • perubahan latar belakang falsafah dan ilmu sosial yang melandasi program dari tujuan pendidikan jasmani dan olahraga;

  • Tujuan program studi dan lingkup mala kuliah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (guru) dan perkembangan lembaga tersebut;

  • sejarah perkembangan struktur kurikulum dan silabi;

  • metode pengajaran, evaluasi dan pengukuran tradisional dari sebagian sudah terlupakan;

  • bentuk‑bentuk latihan terpilih, termasuk fasilitas, perlengkapan, dan lain‑lain.

Seperti dikemukakan oleh para ahli lainnya (Pieron, Cheffers, dan Barette (1994; dalam Naul, 1994) pedagogi olahraga merupakan sebuah disiplin yang terpadu dalam struktur ilmu keolahragaan. Paradigma ini telah diadopsi di Indonesia dalam pengembangan pedagogi olahraga di FIK/ FPOK/JPOK dengan kedudukan bahwa pedagogi olahraga dianggap sebagai “induk” yang berpotensi untuk memadukan konsep/teori terkait dari relevan dari beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya terutama dalam konteks pembinaan dalam arti luas dan paradigma interdisiplin (Matveyev, dalam Rush Lutan, 1988) Pandangan ini tak berbeda dengan tradisi di Jerman yang menempatkan pedagogi olahraga dalam kedudukan sentral dalam struktur ilmu keolahragaan (Wasmund, 1973). Dalam model yang dikembangkan di Universitas Olahraga Moskow, pedagogi olahraga ditempatkan sebagai “pusat” yang berpotensi untuk memadukan beberapa subdisiplin ilmu dalam taksonomi ilmu keolahragaan, sementara para ahli meletakkan sport, medicine yang mencakup aspek keselamatan (safety) dan kesehatan sebagai landasan bagi pedagogi olahraga (Rush Lutan, 1998; dalam laporan hasil The Second Asia‑Pacific Congress of Sport and Physical, Education University President).

Widmer (1972) menjelaskan objek formal pedagogy olahraga yaitu “fenomena olahraga dari fenomena pendidikan, tatkala manusia dirangsang agar mampu berolahraga. Bagi Grupe & Kruger (1994), pedagogi olahraga mencakup dua hal utama: (1) tindakan pendidikan praktis dalam bermain dan olahraga, dan karena itu ada landasan teoretis bagi kegiatan olahraga yang mengandung maksud mendidik tersebut; dan (2) praktik yang dimaksud berbeda dengan praktik dan konsep lama dalam pendidikan jasmani yang mengutamakan latihan gaya militer dan drill di beberapa negara, khsusnya di Jerman; praktik baru itu disertai konsep teoretis pendidikan jasmani, kontrol terhadap badan, dan disiplin, yang menyatu dengan gerak fisik, ability, dan keterampilan di bawah pengendalianjiwa dan kemauan.

Lingkup kajian dan layanan pedagogi olahraga tidak terbatas di sekolah tetapi juga di luar sekolah, sehingga bukan hanya peduli terhadap anak‑anak tetapi juga kepada semua lapisan khalayak sasaran, termasuk kelompok khusus dari orang cacat atau lainnya yang berpartisipasi untuk meningkatkan kondisi fisiologis, mental, atau psikososial. Dalam konteks keterpaduan antar subdisiplin, Wasmund (1972) menjelaskan kaitan antara pedagogi olahraga dan teori pelatihan yaitu pedagogi olahraga untuk menjawab “why” dan teori pelatihan (training theory) untuk menjawab “how”, sehingga interface antara keduanya adalah pada didaktik dan metodik.

Pedagogi olahraga di FPOK Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung misalnya, memanfaatkan filsafat olahraga (sport philosophy) dan sejarah olahraga (sport history) sebagai landasan pokok bagi pengembangan batang tubuh keilmuan pedagogi Pandangan ini, secara independen, pernah dikupas oleh Naul (1986; 1994) yang menyatakan bahwa “perspektif sejarah pedagogi olahraga berkaitan erat dengan sejarah olahraga untuk alasan metodologis.” Karena itu, perspektif sejarah merupakan elemen penting dari kajian pedagogi olahraga, seperti halnya pendidikan jasmani merupakan unsur penting dalam sejarah olahraga.

Memang kita jumpai masalah dalam memahami keterkaitan pedagogi olahraga dengan subdisiplin ilmu lainnya, terutama masalah metodologis yang menempatkan pedagogi olahraga sebagai induk bagi subdisiplin lainnya dalam ilmu ke‑olahragaan, yang sesungguhnya berakar pada sejarah. Di beberapa negara seperti di Perancis (Andrieu, 1990; Zoro, 199 1); McIntosh, 1968), Swedia (Lindorth, 1993), Belanda (Kramer & Lommen, 1987), dan Amerika Serikat (Bennet, 1972; Spears & Swanson, 1988), dijumpai keragaman aspek sejarah pendidikan jasmani yang muncul dalam penelitian sosiologis dan sejarah. Di negara ini, seperti di negara lainnya, pedagogi olahraga sebagai sebuah bidang kajian akademik tidak berkembang dalam konsep nasional ilmu keolahragaan mereka. Hal ini karena di Amerika, Kanada, Inggris, Perancis, dan negara‑negara Eropa lainnya, konsep “physical education” atau “education physique,” masih dominan penggunaannya, ketimbang pengembangan pedagogi olahraga (Pieron keragaman Cheffers, 1988; dalam Naul, 1994).

Di Indonesia, baik dalam pengertian paradigma pengembangan keilmuannya maupun substansinya, pedagogi olahraga ini baru merupakan sebuah “embrio” dalam taksonomi ilmu keolahragaan. Lebih dari dua dasawarsa, setelah mengenal struktur dasar ilmu keolahragaan dalam International Workshop on Sport Science, 1975 di Bandung yang diikuti pimpinan dan dosen dari Sekolah Tinggi Olahraga se‑Indonesia dengan nara sumber ahli‑ahli Jerman Barat (Prof. H. Haag, Prof. Nowacki, Dr. Jansen, dan Bodo Schmidt), Indonesia tenggelam dalam pencarian struktur ilmu keolahragaan, asyik dengan tema‑tema diskusi olahraga kompetitif’. di sekitar feri‑feri ilmu kepelatihan dari sport medicine.

Melalui pendekatan struktural, proses pencarian itu sampai pada tahap kesepakatan tentang sosok, tubuh ilmu keolahragaan, yang antara lain didorong oleh proses percepatan konversi IK113 menjadi universitas. Melalui seminar lokakarya tentang konsep ilmu keolahragaan yang di eclat di IKIP Surabaya (sebelum menjadi Universitas Negeri Surabaya) pada tahun 1998 yang lalu, berhasil diidentifikasi taksonomi ilmu keolahragaan. Hasil seminar nasional itulah yang kemudian melahirkan kurikulum program ilmu keolahragaan yang berorientasi pada kesehatan olahraga dengan bobot muatan sekitar 60% yang IPA. yang mulai dibuka pada tahun 1999, dan lebih signifikan lagi, setelah itu Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan diakui eksistensinya, termasuk ke dalam Komisi Disiplin Ilmu berdasarkan surat keputusan Dirjen Dikti yang diterbitkan pada tahun yang sama pula.

Sejak tahun 1980‑an perubahan memang banyak terjadi di tingkat internasional, terutama di Amerika Utara, yaitu para ilmuan bidang keolahragaan, mulai memperkenalkan “sport pedagogy” dengan alasan yang berbeda, dan mereka mulai menengok ke perspektif sejarah sistem pendidikan jasmani (]ini kurikulum pendidikan jasmani mereka sendiri (Siedentop, 1990). Di antara alasan yang dikemukakan Siedentop ialah dampak krisis ekonomi yang menyebabkan penyerapan lulusan program pendidikan jasmani yang amat rendah di pasar kerja (sekolah) sehingga melalui pengembangan pedagogi olahraga akan terbuka spektrum layanan jasa profesional di luar sekolah dan menyerap tenaga kerja.

Pedagogi olahraga bukanlah merupakan perluasan istilah pendidikan jasmani. Perkembangan pedagogi olahraga dalam paradigma interdisiplin‑intergratif didorong oleh kebutuhan secara akademik, yakni dari aspek metodologi, sebab pendekatan hermenetik dalam pendidikan jasmani sudah tidak memadai untuk mampu mengembangkan segi keilmuannya. Banyak ilmuan internasional sepaham bahwa istilah pedagogi olahraga berasal dari Jerman, tatkala latar belakang filsafat/hermentik dari “teori pendidikan jasmani” mengalami kemunduran pada akhir tahun 1960‑an, sehingga diganti dengan istilah pedagogi olahraga (Grupe, 1969; dalam Naul, 1994).

Namun informasi lainnya (misalnya Naul, 1994) menyebutkan bahwa istilah pedagogi olahraga itu tidak sepenuhnya benar berasal dari Jerman yang muncul pada tahun 1960‑an, karena Pierre de Coubertin menulis buku Pedagogi Sportive pada tahun 1922. Gerakan Olimpiade sejak tahun 1898 hingga Perang Dunia 1. seperti juga buah fikiran yang tertuang dalam beberapa naskah dari artikel yang ditulis de Coubertin (Perancis) Gebbardt dan Diem (Jerman), dan Kemeny serta Guth‑Jarkowsky (Austria‑Hungaria), sempat diabaikan oleh para pedagogi olahraga. Tulisan mereka tentang pendidikan olahraga menonjolkan pengembangan moral, kemauan untuk berolahraga, dan semangat Olimpiade, dan pokok fikiran itu sungguh sangat relevan dengan konsep dalam pedagogi olahraga. Para tokoh peletak dasar pedagogi olahraga ini berfikiran sama dengan para pendidik lainnya tentang hakikat dan gerakan pengembangan “body and mind” di Amerika Serikat dan Jerman.

Sejarah pedagogi olahraga mencakup bukan hanya model Inggris yang menekankan etik Kristiani atau model semangat korps dalam olahraga pertandingan dan permainan yang ‑ berpengaruh banyak terhadap reorganisasi pendidikan jasmani di sekolah Perancis, Denmark, Jerman, Swedia dan negara Eropa lainnya setelah tahun 1880‑an. Seperti juga pernah kita kenal di Indonesia, tiga tokoh besar yang tulisannya, sistem pendidikan jasmaninya, dan metode pengajarannya memperoleh pengakuan internasional di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke 19 ialah:

  • Guthsrnuths (I 7 93) dart Jerman yang berpengaruh di Denmark, Inggris, Swedia, Nederland, Belgia, Italia dan negara lainnya;

  • Pestalozzi (1807) di Swedia, melalui Spies kemudian berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan jasmani di sekolah‑sekolah Jerman, dan Amoros dan Clias berpengaruh terhadap latihan fisik guru‑guru dan militer pria di Perancis dan Inggris;

  • Per Henrik Ling dan puteranya Hjalmar, bersama dengan para penerusnya Royal Central Institute of Gymnastic di Stockholm, mempengaruhi semua sistem nasional pendidikan jasmani di seluruh Eropa dan Amerika Utara dalam periode yang berbeda‑beda, yang bermula pada abad ke‑19.

Di berbagai negara, pendidikan jasmani dibentuk kembali setelah tahun 1900, khususnya tahun 1920‑an. Perkembangan ini didukung kuat oleh dokter olahraga yang dikenal di tingkat internasional yaitu Sargent (1906) di Amerika Serikat, dan Schmidt (1912) di Jerman. Kedua tokoh itu menganjurkan tipe latihan senam dan metode pengajaran yang tekanannya pada pembentukan (forming) fisik. Metoda alamiah menjadi populer di Denmark dan Swedia yang dipromosi oleh Torngren (1914), Knudsen (1915) dan Bukh (1923). Usaha mereka mendorong terjadinya reorganisasi pendidikan jasmani di negara‑negara Eropa. Di Perancis, metode alamiah (la methode naturelle) dikembangkan oleh Demeny dan Herbert, dan di Amerika Serikat, di kenal Thomas D. Wood dengan pembaharuan dalam senam, dan di Jerman, Erich Harte menjadi pendukung kuat aliran Austria “Gaulhofer dan Streicher” (1922) yang keduanya dipengarubi oleh senam Denmark dan Swedia. Tulisan dan hasil kuliah Gaulhofer dan Streicher membantu pelaksanaan reformasi pendidikan jasmani di Jerman, Belanda, Inggris, dan negara Eropa lainnya pada tahun 1920‑an dan 1930‑an (Grossing. 1991; Kramer membantu Lommen, 1987; McIntosh, 1968; dalam Naul. 1994).

Pada masa itu didirikan lembaga pendidikan tenaga guru bertaraf universitas dan diperkenalkan ke dalam dunia akademik yang tumbuh di beberapa negara di Eropa. Namun sekarang, di beberapa negara Eropa itu, masih terdapat perbedaan status akademik pendidikan jasmani dan pendidikan tenaga guru.

Pada tahun 1960‑an terjadi perubahan di beberapa negara. Kebugaran jasmani dianggap sebagai bagian penting dari tujuan pendidikan jasmani baik di Barat maupun di Timur, semacam kebangkitan kembali aliran Swedia yang menekankan kebugaran jasmani sebagai tujuan utama, manusia sebagai “mesin” yang harus dibina agar berfungsi dengan baik, sementara landasan ilmiahnya adalah biologi (lihat, Crum, 1994). Aspek performa menjadi bagian yang lebih penting karena berbagai alasan. Pada tahun 1970‑an, kebijakan pendidikan jasmani banyak diperbaharui oleh kebijakan negara bagian seperti di Negara negara Eropa.

Tahun 1970‑an merupakan puncak perkembangan pendidik ail jasmani dengan peningkatan yang amat dramatis, ditandai dengan perbaikan dalam fasilitas, peningkatan kualifikasi tenaga guru, dan pengalokasian jam pelajaran 3 jam per minggu, di samping pendidikan jasmani harian di SD, sementara di pendidikan tinggi diperkenalkan dari diorganisasi program pemeliharaan kesehatan.

Namun sejak tahun 1980‑an terjadi kemunduran pendidikan jasmani pada tingkat global karena pengaruh ekonomi, politik, dan perubahan pada pendidikan itu sendiri. Krisis pendidikan jasmani, seperti yang dimunculkan dalam kongres dunia di Berlin tahun 1999 1 terjadi tidak hanya pada tingkat nasional suatu negara seperti di AS, Australia, Inggris dan Jerman, namun menjadi persoalan akut di bekas negara blok sosialis (Foldesi, 1993; dalam Naul, 1994). Bahkan dalam paparan Ken Hardman pada konferensi internasional di Bangkok diungkapkan yakni tidak banyak perubahan atau kemajuan yang dicapai sebagai implementasi dari Deklarasi Berlin. Konferensi internasional bertema Sport and Education di Bangkok (2005) kembali mengetengahkan isu keterlaksanaan pendidikan jasmani, seperti dipaparkan oleh Ken Hardman, sampai pada kesimpulan yakni tidak banyak perubahan yang dicapai pada tataran praksis. Lahirnya Bangkok Agenda, sebagai “gong” dari konferensi bertujuan untuk mengakselerasi perubahan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan jasmani, yang juga untuk tujuan yaitu peningkatan mutu pendidikan.

Rangkaian pembahasan tentang pemberdayaan pendidikan jasmani ini berlanjut dalam kongres internasional ke‑46 ICHPERSD (International Council on Health, Physical Education, Recreation, Sport ‑.md Dance) di Istambul (2006) yang menghasilkan pemikiran tentang visi dan misi baru peindidikan iasmani, termasuk komponen‑komponen pendidikan jasmani yang dipandang bermutu.

Lingkup Batang Tubuh Pedagogi Olahraga

Beberapa definisi tentang pedagogi olahraga, seperti dikembangkan di Eropa lebih merujuk kepada segenap upaya yang mengandung maksud dan tujuan yang bersifat mendidik, meskipun ada kecenderungan ke arah penyempitan makna semata mata menelaah proses pengajaran belaka, seperti misalnya dikatakan “sport pedagogy deal teaching rind learning of all age group … target group are individual with low level of performance,” atau ” sport pedagogy is constituted in the actors and actions of teaching and learning purposeful human movement. Dalam ungkapan yang Iebih umum dan luas disebutkan bahwa pedagogi olahraga adalah ” the science … which is concerned with the relationship between sport and education (misalnya dalam tulisan Grupe dari Kurz).

Definisi ini sangat membantu untuk memahami bahwa lingkup pedagogi olahraga banyak berurusan dengan segenap upaya yang bersifat mendidik yang sarat dengan misi dalam rangka proses pembudayaan, khususnya transformasi, nilai‑nilai inti yang memang, jika disimak secara cermat, bahwa olahraga itu sangat kaya dengan potensi dan kesempatan dalam pembekalan kecakapan hidup. Tidak berlebihan, seperti telah disinggung pada awal naskah ini, bila mantan Sekjen PBB Kofi Anan sendiri menyebut olahraga itu sebagai “school of life” karena di dalamnya serba ada, sebuah gubahan kehidupan kemasyarakatan pada tingkat mikro. Misalnya, betapa kegiatan olahraga itu melibatkan dan sekaligus menggerakkan emosi dalam lakon hubungan antar orang, yang karenanya menjadi sebuah realita yakni manakala olahraga yang dibina dengan baik kegiatan itu akan menjadi sebuah adegan pergaulan yang efektif untuk membina pengendalian emosi atau memupuk kecerdasan emosional, bila kita meminjam konsep emotional intelligence yang dipopulerkan oleh Goleman akhir‑akhir ini.

Tidak dipungkiri bahwa seluruh lakon gerak insani yang sadar dan bertujuan dalam konteks olahraga itu melibatkan sebuah mekanisme kerja sistem persarafan dalam sebuah koordinasi yang luar biasa cepat dan rapih, mekanisme persepsi dan aksi yang sinkron yang dibuahkan dalam bentuk pembuatan keputusan yang cepat, pemecahan masalah yang jitu selain kreativitas, seperti tampak dalarn peragaan para atlet tingkat tinggi (misalnya tampak dalam peragaan pemain profesional bola basket dan sepakbola). Unsur estetika melekat kuat di dalamnya dalam ujud irama dan tampilan yang anggun dan selaras untuk berekspresi (lihat misalnya dalam tampilan atlet figure skating). Pengembangan potensi sekaligus pembentukan jelas‑jelas terjadi melalui semua adegan yang bersifat mendidik, dan dalam kaitan itu pula mengklaim bahwa pendidikan jasmani dan olahraga berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan yang bersifat menyeluruh sangat dapat dipertanggung jawabkan.

Bahwa proses ajar merupakan bagian dari keterjadian pendidikan jasmani dan olahraga, harus diakui, dan perubahan ]aku yang dimaksud memang terjadi melalui proses itu. Itulah sebabnya pada tataran praktis disyaratkan harus selalu terjadi proses transaksi antara guru dan peserta didik, yang berimplikasi pada pertanyaan, yakni apa sesungguhnya substansi yang disampaikan oleh guru kepada peserta didik, dan karena itu, pengetahuan apa yang terkandung dalam substansi yang disampaikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, Kritik keras masyarakat, terutama orang tua terhadap profesi pendidikan jasmani dan olahraga ialah bahwa hanya sedikit terjadi dan bahkan ada tuduhan sama sekaligus tidak berlangsung proses ajar. Telah terjadi proses pengerdilan tujuan pendidikan itu sendiri yang lebih bernuansa fisik‑keterampilan, dan itupun hanya tercapai sedikit sekali.

Komplikasi yang terjadi benar‑benar pada tataran praktis, bukan teoretis yang berakibat fatal bagi turunnya wibawa para pemangku profesi itu. Sungguh tidak terelakkan bahwa kesenjangan antara harapan dan kenyataan memang telah terjadi dalam pencapaian tujuan pendidikan jasmani dan olahraga yang terkait dengan kelemahan dalam hal kejelasan landasan keilmuannya dan keterhubungan antara aspek teoretis dan praktis.

Untuk mengenal lingkup pengembangan batang tubuh pedagogi olahraga Pokok pikiran Lee Shulman (1987) tentang tujuh kategori pengetahuan, sangat membantu untuk menjawab persoalan, apa landasan keilmuan utama pendidikan jasmani dan olahraga. Di Amerika sendiri, seperti laporan Christensen, bahwa dalam proses belajar mengajar pendidikan jasmani dari olahraga ( 1996), ketujuh kategori ini digunakan sebagai sumber yang paling sering dipakai NCATE (National Council on Accreditation for Teacher Education) dalam melaksanakan akreditasi guru pendidikan jasmani. Kupasan singkat tentang wilayah kajian pedagogi olahraga ini juga pernah dipaparkan dalam ceramah Schempp (1993) yang berjudul The Nature of Knowledge in Sport Pedagogy.

Ketujuh kategori pengetahuan tersebut di atas sebagai berikut:

  1. Content knowledge
  2. General pedagogical knowledge
  3. Pedagogical content knowledge
  4. Curriculum knowledge
  5. Knowledge of educational context
  6. Knowledge of learners and their characteristics
  7. Knowledge of educational goals

Ketujuh kategori pengetahuan yang melandasi sekaligus mendukung proses belajar mengajar pendidikan jasmani dari olahraga itu pada dasarnya dapat dipakai sebagai rujukan bagi pengembangan batang tubuh pedagogi olahraga. Ketujuh pengetahuan yang bersifat umum itu menunjukkan potensi pedagogi olahraga untuk mengintegrasikan pengetahuan dari subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya yang menjadi landasan teoretis penyelenggaraan pendidikan dalam konteks pendidikan jasmani dan olahraga pada umumnya. Menjadi lebih unik pengetahuan yang dimaksud karena ada tiga kategori pengetahuan yang mesti dikuasi oleh guru pendidikan jasmani. Kategori pertama, pengetahuan teoretis konseptual, kategori kedua pengetahuan tentang prosedur penerapan, dan kategori ketiga, penerapan pengetahuan yang bersifat situasional.

DEFINISI OLAHRAGA


Dalam aktivitas olahraga tentu ada aspek positif dan negatifnya. Aspek positifnya , yaitu 1) Mampu menggerakkan aktivitas sosial, ekonomi, dan politik: adanya interaksi antar manusia (individu dan kelompok), adanya kegiatan jasa, adanya penyerapan tenaga kerja. 2) Mampu mengangkat harga diri pelaku olahraga/atlet/pelatih/pembina/ organisasi/daerah dan bangsa, kesejahteraan pembina olahraga, dan martabat bangsa di dunia internasional. Sedang aspek negatifnya, antara lain seperti masih adanya kecenderungan dari banyak atlet dalam mengikuti suatu pertandingan menggunakan segala cara dalam upaya memenangkan pertandingan/perlombaan, misalnya tidak fair play, tidak disiplin, memanipulasi, melanggar ketentuan (peraturan pertandingan/perlombaan), dan pemakaian doping
Olahraga adalah sebuah kata dalam bahasa inggris yang berarti olahraga. Sedang sportif yang merupakan kata sifat yang berarti jujur dan ksatria atau gagah. Dan kata sportivitas yang sebagai kata benda mempunyai arti orang yang melakukan olahraga tersebut (harus) memiliki kejujuran dan sikap ksatria dalam bertindak dan berprilaku saat berolahraga, seperti disiplin, mengikuti ketentuan dan peraturan yang telah ditetapkan atau yang telah disepakati bersama, terutama saat mengikuti suatu pertandingan atau perlombaan olahraga.

Makna olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah gerak badan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu atau rombongan. Sedangkan dalam Webster’s New Collegiate Dictonary (1980) yaitu ikut serta dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan kesenangan, dan aktivitas khusus seperti berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic games di Amerika Serikat).
Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.

Untuk penjelasan pengertian olahraga menurut Edward (1973) olahraga harus bergerak dari konsep bermain, games, dan sport. Ruang lingkup bermain mempunyai karakteristik antara lain; a. Terpisah dari rutinitas, b. Bebas, c. Tidak produktif, d. Menggunakan peraturan yang tidak baku. Ruang lingkup pada games mempunyai karakteristik; a. ada kompetisi, b. hasil ditentukan oleh keterampilan fisik, strategi, kesempatan. Sedangkan ruang lingkup sport; permainan yang dilembagakan.

Arti olahraga adalah aktivitas untuk melatih tubuh seseorang, tidak hanya secara jasmani tetapi juga rohani, dan bertujuan untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya.

Pendidikan Jasmani

1..Pengertian

Pendidikan jasmani merupakan suatu proses seseorang sebagai individu maupun anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh kemampuan dan keterampilan jasmani, pertumbuhan, kecerdasan, dan pembentukan watak

Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional2. Tujuan Pendidikan Jasmani

1.Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang terpilih

2.Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik

3. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar

4.Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan

5.Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis

6.Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan

7. Memahami konsep aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat dan kebugaran, terampil, serta memiliki sikap yang positif.

3.Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani

1.Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan. eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor,dan manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta aktivitas lainnya

2. Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya

3. Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya

4. Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobic serta aktivitas lainnya

5.Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya

6.Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan, berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung

7.Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS. Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek.

4. Gerak sebagai kebutuhan anak

Dunia anak-anak adalah dunia yang segar, baru, dan senantiasa indah, dipenuhi keajaiban dan keriangan. Demikian Rachel Carson dalam sebuah ungkapannya. Namun demikian, menurut Carson, adalah kemalangan bagi kebanyakan kita bahwa dunia yang cemerlang itu terenggut muram dan bahkan hilang sebelum kita dewasa.

Dunia anak-anak memang menakjubkan, mengandung aneka ragam pengalaman yang mencengangkan, dilengkapi berbagai kesempatan untuk memperoleh pembinaan . Bila guru masuk ke dalam dunia itu, ia dapat membantu anak-anak untuk mengembangkan pengetahuannya, mengasah kepekaan rasa hatinya serta memperkaya keterampilannya.

Bermain adalah dunia anak. Sambil bermain mereka belajar. Dalam hal belajar, anak-anak adalah ahlinya. Segala macam dipelajarinya, dari menggerakkan anggota tubuhnya hingga mengenali berbagai benda di lingkungan sekitarn

5.Perbedaan Makna Pendidikan Jasmani Dan Pendidikan Olahraga

Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh guru-guru penjas belakangan ini adalah : “Apakah pendidikan jasmani?” Pertanyaan yang cukup aneh ini justru dikemukakan oleh yang paling berhak menjawab pertanyaan tersebut.

Hal tersebut mungkin terjadi karena pada waktu sebelumnya guru itu merasa dirinya bukan sebagai guru penjas, melainkan guru pendidikan olahraga. Perubahan pandangan itu terjadi menyusul perubahan nama mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, dari mata pelajaran pendidikan olahraga dan kesehatan (orkes) dalam kurikulum 1984, menjadi pelajaran “pendidikan jasmani dan kesehatan” (penjaskes) dalam kurikulum1994.

Perubahan nama tersebut tidak dilengkapi dengan sumber belajar yang menjelaskan makna dan tujuan kedua istilah tersebut. Akibatnya sebagian besar guru menganggap bahwa perubahan nama itu tidak memiliki perbedaan, dan pelaksanaannya dianggap sama. Padahal muatan filosofis dari kedua istilah di atas sungguh berbeda, sehingga tujuannya pun berbeda pula. Pertanyaannya, apa bedanya pendidikan olahraga dengan pendidikan jasmani ?

Pendidikan jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan dan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang olahraga tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Mendidik apa ? Paling tidak fokusnya pada keterampilan anak. Hal ini dapat berupa keterampilan fisik dan motorik, keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah, dan bisa juga keterampilan emosional dan sosial.

Karena itu, seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga tadi lebih penting dari pada hasilnya. Dengan demikian, bagaimana guru memilih metode, melibatkan anak, berinteraksi dengan murid serta merangsang interaksi murid dengan murid lainnya, harus menjadi pertimbangan utama

Template by : kendhin x-template.blogspot.com